Syarat Terkabulnya Do'a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah itu Maha Malu dan Maha Pemurah. Allah malu jika ada
seseorang yang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya tapi kemudian menolaknya
dengan tangan hampa” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hadits tersebut menggambarkan bahwa Allah
senantiasa mengabulkan do’a hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Ada beberapa
bentuk pengabulan do’a, yaitu dikabulkan di dunia, ditangguhkan sampai hari
kiamat, dan sebagai penangkal kejelekan yang mungkin akan menimpa seorang hamba1.
Akan tetapi, do’a akan dikabulkan hanya jika syaratnya terpenuhi. Syarat-syarat
tersebut adalah:
Pertama,
ikhlas. Ibnu Katsir mengatakan bahwa setiap orang yang beribadah dan berdo’a
hendaknya dengan ikhlas serta menyelisihi orang-orang musyrik dalam cara dan
madzhab mereka2.
Kedua,
ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk
dalam segala bentuk ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS.
Al Ahzaab 21).
Ketiga,
yakin bahwa do’anya akan dikabulkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Berdo’alah kalian kepada Allah dalam keadaan yakin
akan terkabulnya do’a itu” (HR. Tirmidzi). Jika seorang hamba berdo’a
kepada Allah sementara ia tidak yakin Allah akan mengabulkan do’anya, maka itu
adalah sebuah kesia-siaan. Umar Ibnul Khattab pernah mengatakan, “Aku tidak
membebani diriku dengan keinginan untuk terkabulnya do’a. Aku hanya ingin
berharap agar tetap bisa berdo’a”3. Allah berfirman (yang
artinya), “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”
(QS. Ghafir 60).
Keempat,
kekhusyukan di hadapan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan do’a dari
seseorang yang lalai dan tidak serius” (HR. Tirmidzi). Seringkali
seseorang berdo’a setelah sholat namun tidak merasakan apa yang diucapkannya.
Seorang tabi’in pernah mengatakan, “Sungguh,
aku tahu kapan do’aku akan dikabulkan”. Mereka bertanya, “Bagaimana
itu bisa?” Ia menjawab, ”Jika hatiku telah khusyuk, kemudian badanku
juga ikut khusyuk, dan aku pun mengalirkan air mata. Ketika itulah aku
mengatakan do’aku ini akan dikabulkan”4.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tahukah
kalian bagaimana seharusnya seorang muslim berdo’a?” Mereka bertanya, “Bagaimanakah
itu wahai Imam?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian bagaimana seseorang
yang berada di tengah gelombang lautan, sementara ia hanya memiliki sebatang
kayu, dan ia pun akan tenggelam? Kemudian orang ini berdo’a dengan mengatakan,
‘Ya Rabbi, selamatkanlah aku! Ya Rabbi, selamatkanlah aku!’ Maka demikianlah
seharusnya seorang muslim berdo’a (kepada Allah)”5. Hal ini
memperlihatkan bahwa sudah selayaknya seorang hamba yakin bahwa tidak ada lagi
yang mampu menyelamatkannya selain Rabbnya sehingga ia akan kembali kepada-Nya
dalam keadaan apapun dan berdo’a kepada-Nya karena rasa membutuhkan yang lahir
dari kelemahan diri. Allah berfirman (yang artinya), “Atau siapakah yang
memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan jika ia berdo’a kepada-Nya…”
(QS. An Naml 62).
Kelima,
tidak isti’jal (tergesa-gesa minta cepat terkabulnya do’a). Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
dikabulkan do’a seseorang di antara kalian sepanjang ia tidak tergesa-gesa. Ia
berkata, ‘Aku telah berdo’a dan berdo’a, namun aku tidak melihat terkabulnya
do’aku’, sehingga ia pun tidak lagi berdo’a” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah). Orang yang tergesa-gesa dalam berdo’a kemudian
meninggalkannya karena merasa tak juga dikabulkan do’anya bagaikan orang yang
menanami ladangnya dengan menabur benih. Namun ketika benih itu mulai tumbuh,
ia mengatakan, “Agaknya benih-benih ini tidak akan tumbuh”, dan
kemudian ia meninggalkannya begitu saja.
Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Allah
bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, apakah hamba-Ku berdo’a kepada-Ku?”
Jibril menjawab, “Ya”. Allah bertanya lagi, “Apakah ia menghiba
kepada-Ku dalam meminta?” Jibril menjawab, “Ya”. Maka Allah
berfirman, “Wahai Jibril, tangguhkanlah (pengabulan) permintaan hamba-Ku,
sebab Aku suka mendengar suaranya”6.
Keenam,
hanya makan yang halal, termasuk di dalamnya adalah menghasilkan harta dari
sesuatu yang halal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak akan menerima selain yang baik.
Allah memerintah orang-orang mukmin seperti apa yang diperintahkan-Nya kepada
para Rasul” (HR. Muslim, Tirmidzi). Dalam firman-Nya, Allah memerintahkan
(yang artinya), “Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yng baik-baik, dan
kerjakanlah amal sholih…” (QS. Al Mu’minuun 51).
Ketujuh,
tidak berdo’a untuk sesuatu yang berdosa. Dari Abu Said, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang muslim berdo’a dan tidak
memohon sesuatu yang berdosa atau pemutusan kerabat kecuali akan dikabulkan
oleh Allah salah satu dari tiga: Akan dikabulkan do’anya, atau ditunda untuk
simpanan di akhirat, atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya”
(HR. Ahmad 3/18. Imam Al-Mundziri mengatakannya Jayyid (bagus) Targhib 2/478)7.
Kedelapan,
husnudzon (berbaik sangka) kepada Allah bahwa Dia akan mengabulkan do’a kita.
Kalaupun tak dikabulkan, itu karena hikmah yang Allah lebih
mengetahuinya. Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman (yang artinya), “Aku bergantung
prasangka hamba-Ku kepada-Ku” (HR Bukhari).
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
1 Amru Khalid. Ibadah Sepenuh Hati, cet ke IX. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Hal 172
2 Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih. Kesalahan Dalam Berdo’a. Diterjemahkan oleh Zaenal Abidin, Lc. Darul Haq.
3 Amru Khalid. Ibadah Sepenuh Hati, cet ke IX. Solo: PT Aqwam Media Profetika. Hal. 174
4 Ibid. Hal 175
5 Ibid. Hal 176
6 Ibid. Hal 177
7 Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih. Kesalahan Dalam Berdo’a. Diterjemahkan oleh Zaenal Abidin, Lc. Darul Haq.
No comments