SUNNAH-SUNNAH DI HARI RAYA
Menyambut Hari Raya, khususnya
Hari Raya Idul Fitri ada sunnah dan adabnya. Berikut ini beberapa ulasannya
yang bisa kita amalkan.
1. Disunnahkan
untuk mandi sebelum berangkat shalat Idul Fithri
Mandi ketika itu disunnahkan. Yang menunjukkan anjuran
ini adalah atsar dari sahabat Nabi.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, seseorang pernah bertanya pada ‘Ali mengenai mandi. ‘Ali
menjawab, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan.
Maksudku, manakah mandi yang dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari
Jum’at, hari ‘Arafah, hari Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al-Baihaqi, 3: 278.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al-Irwa’,
1: 177)
Ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai
berikut.
عَنْ
نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ
قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi
di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik
dalam Al-Muwatho’ 426.
Imam Nawawi menyatakan bahwa atsar ini shahih)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan
bahwa para ulama sepakat akan disunnahkannya mandi untuk shalat ‘ied.
Dikatakan dianjurkan karena saat itu adalah berkumpungnya orang
banyak sama halnya dengan shalat Jum’at. Kalau shalat Jum’at dianjurkan mandi,
maka shalat ‘ied pun sama.
2. Berhias diri dan
memakai pakaian yang terbaik
Ada riwayat yang disebutkan dalam Bulughul Maram no. 533
diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
baju khusus di hari Jumat dan di saat beliau menyambut tamu. (Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam Adab Al-Mufrad)
Ada juga riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa ‘Umar pernah mengambil jubah berbahan
sutera yang dibeli di pasar. Ketika ‘Umar mengambilnya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam datang, Ibnu ‘Umar lantas berkata, “Wahai
Rasulullah, belilah pakaian seperti ini lantas kenakanlah agar engkau bisa
berpenampilan bagus saat ‘ied dan menyambut tamu.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata,
إِنَّمَا
هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
“Pakaian seperti ini membuat seseorang tidak mendapatkan bagian
di akhirat.” (HR. Bukhari, no. 948)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mempermasalahkan berpenampilan bagus di hari Idul Fithri. Yang jadi masalah
dalam cerita hadits di atas adalah jenis pakaian yang ‘Umar beli yang terbuat
dari sutera.
Ada juga riwayat dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
كَانَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ
وَيَوْمِ الجُمُعَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk
digunakan pada hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, 1765)
Diriwayatkan pula dari Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memakai
pakaian terbaik di hari ‘ied.
Aturan berpenampilan menawan di hari ‘ied berlaku bagi pria.
Sedangkan bagi wanita, lebih aman baginya untuk tidak menampakkan kecantikannya
di hadapan laki-laki lain. Kecantikan wanita hanya spesial untuk suami.
3. Makan sebelum shalat Idul Fithri
Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى
يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ
أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat
shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan sebelumnya beliau makan terlebih dahulu.
Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah
pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”
(HR. Ahmad 5: 352. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini
hasan)
Untuk shalat Idul Fithri disunnahkan untuk makan sebelum keluar
rumah dikarenakan adanya larangan berpuasa pada hari tersebut dan sebagai
pertanda pula bahwa hari tersebut tidak lagi berpuasa.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-Fath (2:
446) menyatakan bahwa diperintahkan makan sebelum shalat Idul Fithri adalah
supaya tidak disangka lagi ada tambahan puasa. Juga maksudnya adalah dalam
rangka bersegera melakukan perintah Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ
حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ .. وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar
pada hari Idul Fithri (ke tempat shalat, pen.) sampai beliau makan beberapa kurma
terlebih dahulu. Beliau memakannya dengan jumlah yang ganjil.” (HR.
Bukhari, no. 953)
Kalau tidak mendapati kurma, boleh makan makanan halal lainnya.
4. Bertakbir dari rumah menuju tempat shalat
Ketika puasa Ramadhan telah sempurna, kita diperintahkan untuk
mensyukurinya dengan memperbanyak takbir. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى
يَأْتِيَ المصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛
قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri sambil bertakbir sampai di
lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak
dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/1/2. Hadits ini mursal dari Az-Zuhri namun
memiliki penguat yang sanadnya bersambung. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah,
no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan bahwa kaum muslimin ketika itu
keluar dari rumah mereka sambil bertakbir hingga imam hadir (untuk shalat ied,
pen.)
Namun kalau kita lihat dari keumuman ayat Surat Al-Baqarah ayat
185 yang menunjukkan perintah bertakbir itu dimulai sejak bulan Ramadhan sudah
berakhir, berarti takbir Idul Fithri dimulai dari malam Idul Fithri hingga imam
datang untuk shalat ‘ied.
Takbir yang diucapkan sebagaimana dikeluarkan oleh Sa’id bin
Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,
اللهُ
أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
وَللهِ الحَمْدُ
Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar.
Allahu akbar walillahil hamd. (artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak
ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah
Maha Besar, segala puji bagi-Nya).
Kalau lafazh di atas takbir “Allahu Akbar” ditemukan sebanyak
dua kali. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah pula disebutkan dengan sanad yang sama
dengan penyebutan tiga kali takbir. (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 36442)
Artinya di sini, dua atau tiga kali takbir sama-sama boleh.
Syaikhul Islam menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu
Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan. (Majmu’ah
Al-Fatawa, 24: 220)
Disyari’atkan bertakbir dilakukan oleh setiap orang dengan
menjaherkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat
ulama madzhab. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24: 220)
5. Saling mengucapkan selamat (at-tahniah)
Termasuk sunnah yang baik yang bisa dilakukan di hari Idul
Fithri adalah saling mengucapkan selamat. Selamat di sini baiknya dalam bentuk
doa seperti dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum” (semoga Allah
menerima amalan kami dan kalian). Ucapan seperti itu sudah dikenal di masa
salaf dahulu.
فعن
جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa
dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling
mengucapkan, “Taqabbalallahu
minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath
Al-Bari, 2: 446)
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
وَلَا
بَأْسَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُل لِلرَّجُلِ يَوْمَ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ
مِنَّا وَمِنْك
“Tidak mengapa (artinya: boleh-boleh saja) satu sama lain di
hari raya ‘ied mengucapkan: Taqobbalallahu minna wa minka.” (Al-Mughni,
2: 250)
Namun ucapan selamat di hari raya sebenarnya tidak diberi aturan
ketat di dalam syari’at kita. Ucapan apa pun yang diutarakan selama maknanya
tidak keliru asalnya bisa dipakai. Contoh ucapan di hari raya ‘ied:
- ‘Ied mubarak, semoga menjadi ‘ied yang penuh berkah.
- Minal ‘aidin wal faizin, semoga kembali dan meraih
kemenangan.
- Kullu ‘aamin wa antum bi khair, moga di sepanjang
tahun terus berada dalam kebaikan.
- Selamat Idul Fithri 1440 H.
- Sugeng Riyadi 1440 H (selamat hari raya) dalam
bahasa Jawa.
Ucapan selamat di atas biasa diucapkan oleh para salaf setelah
shalat ‘ied. Namun jika diucapkan sebelum shalat ‘ied pun tidaklah bermasalah.
(Lihat bahasan Fatwa Islam Web
187457)
6. Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ
خَالَفَ الطَّرِيقَ
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berada di hari ied (ingin pergi ke tempat shalat, pen.), beliau membedakan
jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari, no. 986)
Di antara hikmah kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan
antara jalan pergi dan pulang adalah agar banyak bagian bumi yang menjadi saksi
bagi kita ketika beramal. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ
تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”
(QS. Al-Zalzalah : 4)
Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan
oleh bumi?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى
ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ
أَخْبَارُهَا
“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi
saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang
telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah
berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan
oleh bumi. (HR. Tirmidzi no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if.
Namun hadits ini punya penguat dalam Al-Kabir karya Ath-Thabrani 4596, sehingga
hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin
‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin, 1:
439)
Semoga bermanfaat. Yuk amalkan!
Semoga hari ied kita
penuh berkah, taqabbalallahu minna wa minkum, kullu ‘aamin wa antum bi khair.
Sumber: rumaysho.com
Post Comment
No comments